Mainan yuk!!,Lomba Capung Mecahin Balon

Cari Blog Ini

Prediksi Indonesia di Tahun 2030

Selasa, 16 November 2010.
Prediksi Indonesia di Tahun 2030

Sebelum kita memasuki tulisan inti, ada baiknya kita menengok lebih dalam makna dari kata "prediksi" itu sendiri.
saya pribadi berpendapat bahwa makna prediksi tidak bisa disamakan dg ramalan, meskipun keduanya bersifat mencoba membaca sesuatu yg akan terjadi (visi), namun keduanya memiliki 'metodology' yang berbeda sebagai pijakan.

Kegiatan ramal meramal sudah dikenal manusia sejak jaman bahula, dalam bibel atau al qur'an juga dikisahkan tentang nabi Yusuf, yang piawai dalam meramal makna mimpi, karena kemampuan meramal inilah beliau akhirnya menemukan kemuliaan hidupnya.

Kita juga mengenal Nostradomus (1503 - 1566) juga sangat diyakini sebagai peramal yg handal, banyak orang percaya bahwa Nostradomus mampu membaca kejadian2 besar dunia jauh kemasa depan, bahkan berani meramal kalau dunia akan berakhir th 3797.

Di Indonesia, tanah jawa, kita mengenal penyair besar; Ronggo Warsito, yg juga dipercaya sebagai peramal yg ramalan-ramalan 'terbukti' terjadi kalau kita mau menggunakan ilmu 'gotak-gatik-gatuk', masuknya penjajah Belanda ke bumi nusantara, yg kemudian disusul dg masuknya 'bangsa kuning' yg seumur jagung (penjajah Jepang), sudah ada dalam ramalan sang pujangga yang bisa kita buktikan kebenarannya.

Dalam dunia ilmu hitam/ sihir, kita mengenal 'bola dunia' atau 'cermin wasiat' yg biasa digunakan para canayang sebagai alat utk meramal, ada juga yg menggunakan telor sebagai media utk meramalnya, apapun medianya, kesamaan prinsip disini adalah bahwasanya ramal meramal merupakan kegiatan mistis yg tidak logis,namun terkadang bisa terbukti kebenarannya, entah karena kebetulan atau karena memang si peramal memili visi yg kuat.

Setelah kita tahu sedikit soal apa itu meramal, kita beranjak untuk memahami makna prediksi, memprediksi sesuatu pada hakekatnya sama dg meramal sesuatu, cuma metodology atau pendekatan yg digunakan tidak sama. Kalau meramal cuma mengandalkan hal-hal yg sifatnya gaib (sekalipun hal itu dilakukan oleh astronom handal), sementara 'prediksi' menggunakan variabel-variabel yg terkait satu sama lain sehingga membentuk satu visi yg terstruktur dan secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan.

Saya katakan secara 'ilmiah' karena variabel-variabel yg kita jadikan bahan untuk memprediksi sesuatu tersebut bisa kita perdebatkan salah atau benarnya.

Saya lebih suka menyebut pendekatan prediksi ini dg kata "membaca kecenderungan".

Kita ambil contoh prediksi akan satu pertandingan sepak bola, utk memprediksi tim mana yg akan unggul, kita bisa lihat beberapa hal yg akan mendukung kebenaran prediksi kita, misalnya; kualitas individu di team yg kita prediksi akan menang, kualitas pelatih, atmostfer ruang ganti team, dan trend team di laga-laga terakhir mereka, biasanya; acuan seperti ini memiliki tingkat akurasi kebenaran mendekati 80%, sisanya ditentukan oleh faktor non technis, jangan lupa, dalam banyak hal, faktor non technis ini terkadang malah lebih dominan sebagai wakil dari apa yg kita sebut sebagai kebenaran, mungkin inilah cara sang maha pencipta utk mengolok-olok arogansi manusia.

Okey, kita masuki tulisan inti.
Untuk memprediksi indonesia di tahun 2030, jelas bukan pekerjaan yg mudah, kecuali kalau kita mau asal meramal, artinya kita tidak menggunakan 'metode ilmiah' (ingat tanda petik), asal nyeplos dan asal bersuara, meskipun 'metode' ini juga kadang benar adanya, seperti kata saya tadi, sang maha pencipta memang suka mempermainkan orang-orang yg hiper arogan.

Saya tak akan berani mengatakan bahwa prediksi saya ini nantinya akan menjadi kenyataan, namun dg paparan dan agumentasi yg akan saya sodorkan, anda sekalian bisa mengira-ira apakah saya asal njeplak atau anda akan mengakui bahwa prediksi saya bisa 'dibenarkan' secara nalar.

Utk mempermudah memprdiksi, saya akan membagi masa indonesia setelah merdeka menjadi tiga fase;
1. Fase pertama yaitu jaman Orde Lama
2. Fase kedua, masa Orde Baru, dan
3. Fase ketiga adalah masa/ era reformasi.

Kemudian, kita akan meninjau sekilas apa-apa yg terjadi di ketiga fase tersebut dari sisi sosial politik, tradisi budaya dan trend yg terjadi dalam masyarakat di tiga fase yg berbeda tadi.

1. Fase pertama; Masa Orde Lama,
Orde lama berkuasa relatif lama, sekitar 16 tahun, fase ini adalah masa-masa yg paling berat bagi bangsa dan negara, masa transisi ini penuh dg konflik, baik ditingkat elit maupun akar rumput, hal mana karena ekpekstasi yg berlebihan dari tiap-tiap individu setelah mereka memiliki negara sendiri, bisa mengelola kekayaan negeri sendiri dan 'mengira' bahwa dg modal kemerdekaan mereka bisa otomatis menjadi berkuasa dan kaya, mereka lupa bahwa mendirikan negara yg besar dg latar belakang masyarakat/ rakyat yg sedemikian majemuk, dg kondisi geografis yg paling katastrof didunia (indonesia adalah negara kepulauan terbesar didunia), maka mengira modal kemerdekaan saja sudah cukup untuk menyongsong masa depan yg cerah malah berbalik menjadi bencana, kondisi perpolitikan terus memanas, banyak terjadi pemberontakan baik berdasar ideology maupun rasa ketidakpuasan dari para sesama pejuang karena perbedaan cara pandang akan makna kemerdekaan dan cara mengisinya.

Kondisi politik suatu negara adalah acuan utama utk melihat kemajuan negara yg bersangkutan. Pada masa ORLA, karena kondisi politik sedemikian panas, sementara militer masih terkotak-kotak dalam ideology masing-masing, maka perang fisik bisa terjadi kapan saja, para pejuang kita lupa bahwa negara ini diidamkan dan didirikan oleh semua masyarakat indonesia terlepas dari apa ideology mereka.

Masa2 itu kita mengenal adanya pemberontakan PRRI/PERMESTA, DI/TII atau juga PKI Madiun dan buntutnya G30/S PKI.

Utk kasus terakhir, tak satu orangpun mampu mengungkap apa yg terjadi masa itu, banyak theory konspirasi yg bermunculan.

Karena pada masa itu pemerintah hanya sibuk mengurusi perpolitikan, maka sektor ekonomi menjadi terbengkalai, rakyat kecil yg dulu sangat berharap meningkat taraf kehidupan mereka meningkat pasca kolonialisme belanda (Hindia Belanda), ternyata nasib mereka bisa dikatakan sama atau malah lebih miskin dibanding masa penjajahan dulu.

2. Fase ke dua, masa Orde Baru.
saya yakin ORBA dibawah Soeharto akan tercatat dalam sejarah sebagai masa rezim berkuasa terlama dalam sejarah Indonesia sampai kapanpun, jadi bagi yg anti ORBA, silahakn bersiap-siap utk sakit hati menerima kenyataan bahwa ORBA akan mencatatkan diri dalam museum record indonesia sbg rezim yg terlama berkuasa di bumi nusantara dg segala kekurangan dan kelebihannya.

Dimata saya, Soeharto adalah seorang manager yg handal, seorang ahli strategy yg sulit dicari bandingannya di bumi nusantara, mungkin akan sejajar dgn kemasyuran Maha patih Gajah Mada di jaman majapahir dulu, kesamaan keduanya adalah kenekatan mereka dan cara mereka yg suka menghalalkan segala cara demi tercapainya cita-cita mereka. Sepak terjang Soeharto saya percaya anda sudah tahu, jadi tidak perlu dibahas lebih jauh, sementara 'kejahatan' Gajah Mada terlihat jelas saat Majapahit menaklukkan tanah Pasundan, perang Bubat tersebut menunjukkan betapa cerdik dan ahlinya Gajah Mada dalam strategy perang dan cara meraih kekuasaan, sekaligus menunjukkan betapa segala cara adalah sah dan halal asal tujuan tercapai.

Prestasi terbesar soaharto bagi dunia perpolitakn indonesia adalah keberanian beliau utk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya azas dan ideology negara, andai saja Soeharto dan kroninya tidak gila harta dan kekuasaan, maka masa ORBA akan diwarnai dg masa keemasan dari sisi ekonomi, meskipun akan merupakan masa paling otoriter dalam sejarah indonesia pasca kemerdekaan.

Dengan hanya memiliki satu idology (yang dipaksakan), kinerja pemerintahan relatif mudah dalam menata masyarakat dan membangun perekonomian.

Konflik antar golongan karena faktor ideology (agama) bisa diminimalis, faham komunis resmi di larang, walaupun hal ini bertentantangan dg hak azasi manusia, namun cara ini ternyata cukup efektif utk meredam kengototan kaum kanan (islam garis keras) utk menjadikan indonesia sebagai negara islam.

3. Fase ke tiga, era Reformasi.
Semestinya, masa setelah ORBA ini kesempatan kita utk maju lebih pesat bisa dicapai, karena kebebasan tiap-tiap individu lebih dihargai. Juga, pemerintah jauh lebih transparant, kehidupan demokratis bisa kita nikmati, lembaga legislatif yg notabene adalah bentuk pengejawantahan rakyat (yang kemudian menjadi bentuk pengejawantahan partai)memilii kekuasaan yg benar2 'setara' dg lembaga eksekutif.

Kenyataannya, masa reformasi tidak jauh berbeda dg masa ORBA, korupsi tetap marak, kemiskinan dan pengangguran tetap menjadi momok menakutkan, ditambah lagi, sikap lembek pemerintah terhadap garis keras islam, lahirnya OTDA malah menjadi semacam bumerang yg memukul balik negeri ini utk mundur beberapa langkah kebelakang.

Seperti kata saya diawal, masyarakat Indonesia ini sangat majemuk, negeri ini terdiri dari ribuan pulau, ada puluhan aliran kepercayaan, banyak suku dan terdiri atas beberapa ras, dgn kenyataan seperti itu, adalah sangat NAIF kalau kita ngotot untuk menjadikan hukum agama sebagai dasar hukum verbal. Karena sikap ngotot ini, maka timbul sikap saling curiga dan waspada, kepercayaan antara sesama anak bangsa menjadi luntur.

Yang terburuk dimata saya di era reformasi ini adalah maraknya partai partai politik yg mengusung agama sebagai basic perjuangan mereka, bukan berarti saya orang yg menentang agama atau orang yng tidak beragama, namun -sekali lagi- kalau agama dibawa ke ruang publik, yang terjadi hanyalah silang sengketa.

Masa reformasi sudah memasuki tahun ke 12, namun ternyata keadaan negeri ini tidak membaik secara significan, baik disektor perekonomian maupun di sektor sosial politik, bahkan nyaris saja kebebasan pers kita juga terampas karena piciknya cara pandang elit dalam melihat satu fenomena kamajuan technologi.

***

Dengan berbekal sedikit kilas balik tadi, sekarang saya akan memulai memprediksi seperti apa kira-kira keadaan indonesia secara umum pada tahun 2030 nanti.

Melihat kecendeurangn apa yang terjadi di ketiga fase tadi, rasanya 20 tahun kedepan kondisi indonesia tidak akan jauh berubah, apa artinya 4 kali PEMILU kalau kualitas pemilih dan yang dipilih tidak mengalami perkembangan yg cukup significan setelah 65 tahun kita merdeka.

Kalau kita tidak mengubah cara pandang kita terhadap bangsa dan negara, terhadap makna nasionalisme dan pluralisme, maka seribu tahun lagipun kondisi kita akan tetap sama, saling cakar dan mau menang sendiri, puas dg kesenangan diatas penderitaan orang lain yg notabene adalah saudara sebangsa dan setanah air kita, terlepas dari apa suku, ras, agama dan kepercayaan mereka.

Mengharap akan terjadi perubahan besar dalam kurun waktu 20 tahun rasanya sangat naif bagi bangsa ini, hal ini kalau kita mengacu pada ketiga fase yg saya kemukakan diawal tadi.

Tentu saja, dibidang IPTEK kita juga akan mengalami kemajuan seiring dg pesatnya kemajuan dunia IPTEK itu sendiri. Kalau dulu Habibi selalu berjargon bahwa penguasaan iptek adalah kunci dari sebuah kemajuan suatu bangsa, maka saya adalah termasuk orang yg tidak menyetujuinya, bagi saya, kunci dari kemajuan suata bangsa/negara adalah terjaminnya stabilitas politik negara tersebut. Penguasaan IPTEK oleh anak bangsa hanyalah sebagai sarana penunjang demi tercapainya indonesia sebagai negara maju dan modern.

Tanpa ada stabilitas politik, maka sektor lainnya juga akan mandek, karena mustahil bagi kita untuk membangun kalau kita selalu disibukkan dengan konfli.

Ambil contoh simple saja, kita bisa lihat bagaimana pemerintah dan DPR menghabiskan waktu, engery dan dana hanya untuk membahas kasus bank Century?

Baik yang pro atau yang kontra, eyel-eyelan dan politisasi kasus Cnetury ini menunjukkan betapa kerdilnya mentalitas baik elit maupun ditingkat akar rumput, mereka suka mencari ranah abu-abu dg apa yang mereka sebut "kebenaran", padahal, bagi masyarakat modern, semua bisa dikatakan benar atau salah bila sesuai atau tidak sesuai dgn apa yang telah menjadi kesepakatan kita dalam komitment untuk hidup bersama dalam satu wilayah negara dgn apa yang kita sebut UU/aturan hukum.

***

Tinjauan dari sisi budaya dan tradisi berfikir masyarakat indonesia.
Meskipun Nusantara tidak hanya tanah jawa, namun secara de facto bisa kita lihat bahwa budaya dan tradisi berfikir masyarakat indonesia dalam memilih pemimpin dan atau ingin di pilih sebagai pemimpin sangat kental dengan 'unggah ungguh' kejawen yg hipokrit.

Anda bisa analisa, semua pemimpin yang pernah menjadi presiden RI bukanlah type 'ambisius' (ingat dg tanda petiknya), mereka cenderung malu-malu tapi mau untuk maju sebagai pemimpin bangsa, mereka tidak mau secara vulgar ingin mengajukan diri sebagai pemimpin bangsa, hal mana karena tradidi Jawa menabukan hal-hal seperti itu, dgn 'kehalusan' diplomasi mereka, mereka ingin publik yg menilai mereka dg melihat tutur kata dan sikap mereka yg diluar nampak kalem, nrimo dan -seperti tadi- tidak seperti orang yang ambisius.

Sikap hipokrit itu terjaga sangat baik sejak jaman Majapahit atau malah sebelumnya, dalam hikayah atau cerita legenda Jawa, manusia2 yang ambsius selalu digambarkan sebagai watak yang serakah (maruk), gila kekuasaan, harta dan gila hormat, alhasil, bila ada seorang manusia Indonesia yg gigih ingin mengajukan diri sebagai presiden/ pemimpin, betapapun bagus visi mereka, betapapun bersih track record mereka, namun kalau secara vulgar mereka menunjukkan sikap 'ambisi'nya yg besar untuk menjadi pemimpin bangsa, bisa dipastikan mereka akan dijauhi oleh publik dan bahkan akan di cap sebagai orang yg gila kekuasaan.

Figur2 yg 'ambisius' ini bisa anda temukan dalam sosok Sutiyoso, Amin Rais, atau juga Prabowo. Typical mereka yg jujur dan suka blak kutang (no bra dalam bahasa nambibia)menjadikan mereka dicibir oleh sebagian besar masyarakat kita, padahal kalau kita mau melihat dg cara obyektif, justru manusia2 type ini yg jelas-jelas memiliki visi dan NIAT yang kuat untuk merubah status quo, kegemaran bangsa ini untuk menjunjung tinggi status quo karena lebih suka mencari jalan aman ini adalah salah satu faktor mengama bangsa ini sukar untuk maju.

Yang lebih menyedihkan, peran media massa yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membentuk paradigma baru yang lebih hidup dan dinamis malah sering kali bersikap kolot dan partisan, ini benar-benar wacana paling buruk bagi negara berkembang yang ingin maju.

Kita bisa bandingkan bagaimana cara elit diluar negeri (negara maju yang demokratis macam USA dan eropa pada umumya) dengan cara elit di indonesia dalam usaha meraih kursi kepemimpinan.

Di LN, keinginan besar untuk menjadi pemimpin ini malah dihargai, karena secara logis, mereka mereka yang benar2 punya niat untuk menjadi pemimpin suatu negara pastilah memiliki visi dan konsep yang kuat untuk merubah negara mereka menjadi lebih baik, soal goal atau tidaknya, soal efek efek negatif dari sisi 'ambisius'nya, disitu sudah ada rambu-rambu yang akan mengontrol mereka bila mereka menyalah artikan makna 'ambisius' ke arah yang negatif.

Kelebihan manusia-manusia yang berani secara vulgar menyuarakan keinginan mereka untuk berkuasa atau yang sering kita sebut dg 'ambisius' dg konotasi yang cenderung negatif adalah bahwasanya mereka cenderung berani bertanggung jawab, punya visi dan tekad yang kuat, type manusia yang tidak gampang menyerah pekerja keras, bagi mereka tidak menganal apa itu istilah apologetik, yang merupakan kebalikan dari type2 manusia yang malu-malu tapi mau untuk menjadi pemimpin bangsa, type yang malu-malu tapi mau ini cenderung suka melempar kesalahan ke orang lain, kalau mereka gagal dalam tugas, mereka akan dengan enteng mengatakan; saya memimpin kan karena suara rakyat, karena karena kalian yang memilih saya, dan seribu macam bentuk apologetik lainnya.

Kalau bangsa kita ingin maju, maka kita harus mengubah paradigma kuno kita yang kolot dan hipokrit.

***

Seperti di awal tulisan saya ini, prediksi tidak sama dengan ramalan.
Paparan saya diatas adalah bentuk prediksi dari saya, kalau judulnya hanya hanyalah soal 'ramalan', maka bisa saja dengan mudah kalau saya katakan bahwa tahun 2030 nanti indonesia akan menjadi negara super power melebihi China atau USA, saya tidak perlu memaparkan dasar ramalan saya dgn argumentasi, toh makna dari ramalan itu sendiri adalah membaca situasi yang belum terjadi dengan cara yg mistis, gaib atau kalau dalam bahasa yang vulgar bisa saya katakan 'ngawur'.

Saya sebut 'ngawur' karena ANDAI saja orang lain tidak mampu meng-gotak gatik gatuk-an isi ramalannya sehingga seolah apa yang diramal oleh seseorang itu terbukti benar, maka siperamal, entah itu Ki Ranggo Warsito atau juga Nostradomus akan memiliki predikat ini: ngawur.

Comentários:

Posting Komentar

 
Qomar Ca'Em © Copyright 2010 | Design By Gothic Darkness |