Mainan yuk!!,Lomba Capung Mecahin Balon

Cari Blog Ini

Ibukota? Tetap Jakarta atau pindah

Senin, 15 November 2010.

Ibukota? Tetap Jakarta atau pindah

jakarta
Jumlah warga Jakarta mencapai delapan juta orang dan terus bertambah
Jakarta dengan luas sekitar 650 km2 kini menampung penduduk setidaknya 8 juta jiwa, yang terus bertambah setiap tahun.
Bahkan pada saat jam kerja sehari-hari, Jakarta dapat penambahan sekitar 4 juta yang datang dari kawasan luar Jakarta -seperti Bekasi, Tangerang, Depok- untuk mencari nafkah di Jakarta.

 

Sebagai kota pusat pemerintahan dan sekaligus menjadi pusat perekonomian Indonesia, Jakarta memang menjadi magnet bagi banyak orang.
Namun pada saat bersamaan pembangunan pra sarana di Jakarta sepertinya tidak mampu lagi menampung beban yang meningkat terus setiap tahunnya.
Banjir, misalnya, sudah menjadi rutinitas tahunan di sejumlah kawasan, sementara kemacetan pada jam tertentu dan di tempat tertentu sudah dilihat sebagai kewajaran.
Tak sedikit pula warga Jakarta yang hidup kawasan pemukiman yang tidak layak dari segi sanitasi maupun sosial.
Menumpuknya berbagai masalah ini menimbulkan kembali wacana pemindahan ibukota, yang pernah dilontarkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1956 kala meresmikan kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Namun gagasan ini tetap mengundang kontroversi karena sebagian mempertanyakan efektifitas pemindahan ibukota sementara yang lain berpendapat Jakarta sudah tidak mampu lagi menanggung bebannya.
Laporan khusus tentang Jakarta bisa anda ikuti di Duna Pagi ini BBC Indonesia pukul 05.00 WIB, Senin 25 Oktober hingga Jumat 29 Oktober 2010.
Kami juga mengundang saran anda atas Jakarta, maupun pendapat anda: apakah anda setuju ibukota dipindahkan atau tetap di Jakarta.

Jakarta, ibukota dengan 1.000 masalah

Kemiskinan adalah salah satu permasalahan yang dihadapi Jakarta. Pemukiman-pemukiman kumuh seperti ini mudah ditemui di berbagai sudut kota.
Sejak 49 tahun lalu, Sumanta penduduk asli Jakarta nyaris tidak pernah meninggalkan kota kelahirannya ini.
Bagi Sumanta, sebagian lika-liku Jakarta beserta segala masalahnya sudah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.
Apalagi dengan profesinya sebagai tukang ojek, Sumanta harus bersahabat dengan kondisi Jakarta yang kerap dirundung masalah antara lain kemacetan dan banjir.
Namun, seperti jutaan warga Jakarta lainnya, Sumanta mau tidak mau harus berkompromi dan menerima kondisi Jakarta yang terus bermasalah.

Populasi berlebihan

Kemacetan menjadi problem Jakarta yang belum terpecahkan.
Jakarta, ibu kota dan juga kota terbesar di Indonesia, memiliki penduduk lebih dari 9,5 juta jiwa berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk Jakarta saat ini.
Padahal banyak pengamat perkotaan mengatakan Jakarta sebenarnya hanya dirancang untuk dihuni maksimal tujuh juta jiwa.
Tak pelak pertumbuhan penduduk yang tak terkendali ini membuat masalah terus muncul di ibukota, salah satunya adalah kemacetan lalu lintas yang semakin hari kian memanjang.
Dari berbagai data menunjukkan, jumlah seluruh kendaraan bermotor di Jakarta ternyata jauh lebih banyak ketimbang jumlah penduduknya.
Padahal, jumlah kendaraan bermotor terus tumbuh rata-rata 10-15% tiap tahun. Celakanya, kondisi ini tidak diimbangi dengan panjang jalan yang hanya bertambah 0,01% tiap tahun.
Hasilnya adalah hampir tiada hari tanpa kemacetan di Jakarta. Mantan Gubernur Jakarta Sutiyoso suatu ketika pernah mengatakan tanpa ada penanganan serius maka tahun 2014 Jakarta akan menderita sebuah kemacetan total.

Drainase buruk

Tak berimbangnya jumlah kendaraan bermotor dan panjang jalan raya bukan satu-satunya penyebab kemacetan. Di kala hujan turun air menggenang yang langsung berimbas pada kemacetan lalu lintas.
Banjir Jakarta disebabkan buruknya sistem drainase kota.
Genangan air ini disebabkan buruknya penataan dan perawatan sistem drainase Jakarta yang nyaris tak berkembang sejak 30 tahun silam.
Namun, mengembangkan sistem drainase yang baik ternyata tidak murah. Triliunan rupiah perlu dianggarkan untuk membangun sistem drainase baru. Sehingga pemerintah lebih menyukai opsi perawatan yang lebih irit biaya.
"Saya setuju dengan perawatan, perombakan atau desain ulanglah. Tapi seperti Anda bilang tadi butuh triliunan rupiah. Itu idealnya," kata Kepala Pemeliharaan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Tarjuki.
"Tapi ada solusi lain untuk mengoptimalkan sistem drainase kita itu. Misalnya saluran yang kecepatan mengalirnya sudah rendah kita tambah pompa supaya mengalirnya cepat," tambah Tarjuki.
Namun, Direktur Institut Hijau Indonesia, Slamet Daroyni, menegaskan seharusnya besarnya biaya jangan dijadikan alasan.
"Soal biaya ini kan relatif. Tahun 2007 lalu saat Jakarta tenggelam oleh banjir kerugian yang diderita mencapai Rp 5,7 triliun," papar Daroyni.
"Saat itu, APBD Jakarta tahun 2007 mencapai 21 triliun. Itu artinya, hampir 25% dana itu habis untuk melakukan perbaikan kota Jakarta," tegasnya.

Jakarta harus pindah?

Belum adanya formula jitu mengatasi berbagai problem di Jakarta membuat wacana untuk mencari ibukota baru kembali muncul.
Kalau Jakarta ditinggal tanpa menyelesaikan masalahnya, sama saja kita menyediakan bom waktu
Nirwono Yoga
Bahkan wacana ini menjadi serius ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut melontarkan opsi ini beberapa waktu lalu.
Namun, pengamat perkotaan Nirwono Yoga mengatakan memindahkan ibukota atau pusat pemerintahan ke lokasi baru tidak akan menyelesaikan masalah yang dialami Jakarta saat ini.
"Kalau Jakarta ditinggal tanpa menyelesaikan masalahnya, sama saja kita menyediakan bom waktu," kata Nirwono.
Sebab, lanjut Nirwono, jika memindahkan ibukota atau pusat pemerintahan dipindah di dekat Jakarta maka kota baru itu akan tetap tergantung pada Jakarta.
Apalagi, pembangunan sebuah pusat pemerintahan baru -mengacu pada biaya pembangunan kota Putrajaya, Malaysia- bisa memakan biaya tak kurang dari Rp 80 triliun.
"Dengan energi yang ada dan dengan dana Rp 80 triliun mengapa tidak kita benahi Jakarta secara total? Karena itu akan lebih menghemat waktu, tenaga dan biaya," tandas Nirwono.

Memindahkan ibukota bukan gagasan baru

Presiden Soekarno dan penerusnya Soeharto pernah mewacanakan untuk memindahkan ibukota Indonesia dari Jakarta.
Pemindahan pusat pemerintahan atau ibukota bukan tidak pernah dilakukan Indonesia.
Dengan berbagai alasan, setidaknya sudah dua kali Indonesia tercatat memindahkan ibukotanya dari Jakarta ke Yogyakarta dan Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, kedua perpindahan itu harus dilakukan akibat kondisi politik yang tidak memungkinkan untuk mempertahankan Jakarta sebagai ibukota.
"Ibaratnya seperti bencana alam, nggak ada pilihan. Harus pindah walaupun dalam kondisi apapun," terang Asvi kepada BBC Indonesia.
Yogyakarta menjadi ibukota Indonesia pada 4 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949. Di Yogyakarta, Presiden Sukarno berkantor di Gedung Agung yang berperan menjadi istana kepresidenan.
Namun, kondisi istana presiden di Yogyakarta saat itu sangat jauh dari mencukupi.
"Waktu ada jamuan untuk delegasi India ke Yogyakarta, pihak istana harus meminjam berbagai perlengkapan jamuan. Taplak meja pinjam dari tetangga di sekitar istana, piring dari restoran di dekat istana," papar Asvi menjelaskan betapa terbatasnya fasilitas di Yogyakarta.
Dan, lanjut Asvi, pemerintah Indonesia saat itu mempersiapkan Bukit Tinggi menjadi ibukota alternatif jika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
"Tapi kemudian PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) tidak di Bukit Tinggi, tapi bergerak di seluruh Sumatera karena dikejar-kejar Belanda. Jadi Yogya dan Bukit Tinggi itu pernah (jadi ibukota)," tambah Asvi.

Pasca perjuangan

Usai perang kemerdekaan, ternyata pemerintah terutama Presiden Sukarno tetap berencana memindahkan ibukota dari Jakarta.
Pada tahun 1957, Presiden Sukarno meresmikan berdirinya kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Dan dengan alasan geo-politis pemerintah menilai kota yang baru dibangun ini cocok menjadi ibukota baru Indonesia.
Bung Karno sudah memikirkan Palangkaraya akan menjadi kota yang pluralis
Asvi Marwan Adam
Presiden Sukarno -yang pernah mengunjungi kota ini dua kali- menilai Palangkaraya yang berposisi relatif di tengah-tengah Indonesia berpotensi untuk menggerakkan pembangunan khususnya ke arah timur Indonesia.
Tak hanya itu, Bung Karno bahkan merancang sendiri kota yang diimpikannya menjadi ibukota masa depan Indonesia.
"Malah dia membayangkan di pusat kotanya itu ada jalan raya seperti di Jakarta ada bundaran HI dan Tugu Selamat datang. Di tengah Palangkaraya sudah dibangun sebuah bundaran yang dilengkapi enam persimpangan jalan," jelas Asvi.
Dan, lanjut Asvi, di tiap ujung persimpangan itu Bung Karno merancang akan menempatkan satu rumah ibadah yang mewakili tiap agama di Indonesia.
"Jadi Bung Karno sudah memikirkan Palangkaraya akan menjadi kota yang pluralis," tambah Asvi.
Palangkaraya nampaknya memang dirancang untuk dikembangkan menjadi sebuah kota besar bahkan mungkin metropolitan.
Rencana kawasan pembangunan kota Palangkaraya mencakup areal seluas 2.600 km persegi atau tiga kali lipat luas Jakarta saat ini.
Dengan areal seluas itu maka Palangkaraya dianggap mampu menanggung beban sebuah kota metropolitan. Apalagi, kota ini terletak di Pulau Kalimantan yang relatif beresiko lebih kecil dari ancaman potensi gempa atau ancaman gunung berapi.
"Dan saat ini kawasan yang sudah dibangun baru sekitar enam kali enam kilometer persegi," kata dosen arsitektur Universitas Palangkaraya Wijanarka ST.

Butuh kepemimpinan

Pemerintah harus berani memutuskan soal kepastian pemindahan ibukota.
Sayangnya, ide Presiden Sukarno itu menguap begitu saja. Selain karena secara ekonomi saat itu Indonesia belum cukup kuat, dan pemerintah pun semakin disibukkan isu-isu politik yang lebih besar.
Wacana pemindahan ibukota kembali muncul di masa pemerintahan Presiden Suharto. Sekitar akhir dekade 1980-an muncuk ide memindahkan ibukota ke Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Awalnya ide ini disambut baik, Jonggol dari sudut lokasi dianggap ideal untuk memecah beban Jakarta. Namun, wacana ini tidak berlanjut seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru.
Alasan politis nampaknya menjadi sebab kegagalan Palangkaraya dan Jonggol menjadi ibukota atau pusat pemerintahan baru Indonesia.
Namun Rektor Universitas Indonesia, Gumilar Rusliwa Somantri, menilai gagalnya pemindahan ibukota secara sosial tidak ada satu orangpun yang menginginkan pemindahan ini.
"Tentu saja ada reluctancy, penolakan untuk pindah. Biasanya ini terkait dengan hal mendasar dalam diri banyak orang. Ada kecenderungan tidak mudah menerima gagasan baru dan pindah ke sesuatu hal baru dalam kehidupan," kata Gumilar yang juga pakar sosiologi perkotaan ini.
Sehingga, diperlukan sebuah kepemimpinan kuat untuk mewujudkan wacana besar seperti ide pemindahan ibukota.
"Leadership, merupakan hal yang penting. Saya kira seorang pemimpin harus dibekali kajian. Dan saya kira kajian itu tidak perlu dilakukan terlalu lama. Libatkan ahli untuk melihat berbagai aspek dan putuskan," tegas Gumilar.
Di saat Jakarta berada di ambang ancaman over populasi, ancaman banjir besar, ancaman kemacetan total maka seorang pemimpin yang berani mengambil sebuah keputusan besar sangat dibutuhkan.
Dan hingga kini keputusan itu belum kunjung dibuat.

Comentários:

Posting Komentar

 
Qomar Ca'Em © Copyright 2010 | Design By Gothic Darkness |