Mainan yuk!!,Lomba Capung Mecahin Balon

Cari Blog Ini

Brand Equity ala Mbah Marijan

Kamis, 11 November 2010.
Brand Equity ala Mbah Marijan

Oleh KRIS MOERWANTO


SULTAN HB IX memberinya nama resmi Mas Penewu Surakso Hargo. Artinya, sang Penjaga Gunung. Nama populernya Mbah Marijan. Menyebut namanya, benak langsung terasosiasi dengan sosok renta.
Seorang yang selama 28 tahun menjabat juru kunci Gunung Merapi tapi bersahaja, walau popularitas, rating, dan awareness-nya sebagai brand begitu luar biasa. Sosok yang hidupnya sarat teladan berbasis falsafah Jawa.
Yang hingga akhir hayatnya memberikan keteladanan kepada kita tentang yang disebut berkomitmen, berdedikasi.
Atas tanggung jawab dan amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menugasinya sejak 1970 sebagai abdi dalem dengan gaji hanya Rp 5 ribu per bulan, namun tetap menjaga martabat untuk menjaga, memelihara, dan berkomunikasi
dengan penunggu gunung teraktif sejagat itu demi ke seimbangan tatanan kosmis. Terbukti, jangankan menyerah, bahkan hingga akhir hayatnya, selama 28 tahun tu gasnya, Mbah Marijan tetap tak beringsut dari pos, jabatan, dan tanggung jawab tugasnya menjaga gunung yang dipercaya menjadi sentral kekuatan jagat tanah Jawa itu.
Ketika Merapi kembali aktif akhir pekan silam, tak banyak yang hirau. Maklum, sebagai gunung yang tercatat paling aktif
di dunia, hampir dua tahun sekali, rutin terjadi erupsi. Tapi, ketika pria kelahiran Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kabupaten Sleman, 83 tahun lalu ini ditemukan tewas terpanggang dalam posisi sujud –sikap penghormatan dan tirakat kepada kekuatan Sang Maha Perkasa– hampir tak ada media yang tak mewartakannya.

***
Di balik kebersahajaannya, secara ilmu marketing komunikasi, kita bias belajar tentang hakikat maksud brand equity dalam diri Mbah Marijan. Yakni, resultante dari keteladanan, integritas tabiat, pengakuan objektif, serta persepsi positif dari stakeholder.
Para sineas andal Hollywood punya dalil: di balik brand besar, selalu ada kisah yang luar biasa. Makanya, Mickey Mouse yang diciptakan Walter Disney pada 20-an, sampai kini eksistensinya tetap relevan. Itu sebabnya, Batman atau Spider Man tetap menjadi kisah heroik dan keteladanan, hingga lintas generasi, tanpa ada kesan jadul atau tertinggal zaman.
Tapi, sebagai brand yang dapat pengakuan dan persepsi positif, Mbah Marijan tidak sedang memainkan suatu skenario.
Tak butuh membuat cerita hebat yang direkayasa. Atau bikin data statistic artifisial. Juga fakta bikin-bikinan untuk tujuan membesarkan brand dirinya. Dia tak sibuk mencari sebanyak-banyaknya dukungan demi polling SMS atau peringkat popularitas. Tidak sedang melakukan politik pencitraan demi kelak terpilih lagi pada periode selanjutnya.
Beliau tak butuh pengakuan. Tak silau oleh penghormatan stakeholder. Bahkan, dia tak peduli urusan begituan. Ada memang buku yang mengulas sosok dirinya. Antara lain berjudul Mbah Marijan: Sang Presiden Gunung Merapi. Ditulis F.X. Rudy Gunawan, buku ini terbit pada 2006.
Tapi, buku itu tidak berpretensi sebagai biografi. Tidak dibuat dengan tujuan berkisah tentang ”sejarah kepahlawanan” dirinya. Tak dimaksudkan sebagai upaya ”membersihkan nama baik”, apalagi ”meluruskan sejarah”, hal yang lazim dilakukan para jenderal dan pimpinan di republik ini seusai tak lagi menjabat.
Ada pendapat, sejarah ditulis sesuai dengan kepentingan yang sedang berkuasa. Karena itu, bahasa Inggrisnya ”sejarah” adalah ”history”, yang dipelesetkan menjadi ”His story”. Maknanya, cerita versi dia (baca penguasa). Dengan demikian, setelah suatu orde kekuasaan tertentu tumbang, kebenaran kisah sejarah suatu peristiwa cenderung ribut ditafsirkan ulang.
Namun, kisah tentang Mbah Marijan bukan cerita sejarah. Bukan biografi kepahlawanan. Justru buku tersebut berdasar persepsi pihak lain yang dilandasi sikap penghormatan dan pengakuan reputasi, integritas, dan kredibilitas Mbah Marijan.
Misalnya, ada yang mengaitkannya dengan falsafah Jawa –yang terkesan konyol namun maknanya dalam. Bunyinya kurang lebih: Jangan terbentur atap langit. Jangan terantuk di jalanan rata. Arti harfiahnya bahwa jabatan, pangkat, dan popularitas diibaratkan langit. Seakan nyata, tapi ada di ke tinggian. Untuk meraihnya cenderung mencelakakan.
Sedangkan norma, aturan, tata krama, dan kepatutan adalah hal nyata yang ada dalam ke hidupan keseharian. Keteraturan identik dengan jalan yang rata.
Ini mengingatkan bahwa hidup kita harus terjaga, tidak sampai tersangkut, tersandung, apalagi terjerem bap, oleh tabiat melanggar norma kepatutan. Boleh jadi prinsip menisbikan popularitas, tak silau gemerlap dunia, dan sengaja menjaga jarak dari sikap tak martabat-lah, yang menjadikan brand Mbah Marijan
justru kian membesar, walau yang bersangkutan tak sengaja mengupayakannya.
Membuat brand-nya menyeruak dari situasi media yang saling berkerumun mengakibatkan clutter, noise, dan serba mirip. Keunikan, keteladanannya yang sulit ditiru, justru menjadikan Mbah Marijan sebagai brand. Bahkan, menjadi medium.
Sarana media penyampai pesan. Karena itu, tak salah Sido Muncul memilihnya jadi model iklan jamu. Endorser untuk semangat ”Rosa” (baca: roso dalam bahasa Jawa), yang bermakna tak boleh menyerah hanya karena keterbatasan dan beratnya kehidupan.
Bahkan, sikap cueknya membuat Mbah Marijan tak mempersoalkan berapa honor dari Sido Muncul. Mung kin dia tak mau tahu jumlahnya dan tak ingin tahu bagaimana pemanfaatan nya.
Akhirnya, sepeninggal Mbah Marijan, kita mendapat hikmah secara marketing.
Bahwa brand equity sesungguhnya bukanlah hasil suatu proses rekayasa, artifisial, apalagi bikin-bikinan. Brand equity yang sesungguhnya justru muncul dari pengakuan objektif.
Dari sikap penghormatan yang tulus dari pihak lain. Berasal dari reputasi yang terjaga. Dari persepsi eksternal yang positif. Dari pencitraan elalui tabiat dan polah tingkah.
Selamat jalan, Mbah. Terima kasih untuk segalanya. Semoga Mbah tenteram dalam keabadian pangkuan Sang Mahasegala. (*)
*) Kris Moerwanto,
manajer iklan Jawa Pos

Comentários:

Posting Komentar

 
Qomar Ca'Em © Copyright 2010 | Design By Gothic Darkness |